Like Sampai Jari Patah

Sunday 27 February 2011

Wong Fei Hong adalah Muslim...

Paling tidak disangka Wong Fei Hong, tokoh Perubatan dan Seni Pertahanan Diri Cina ini adalah seorang seorang muslim. Saya terpanggil untuk berkongsi cerita penuh sejarah dalam ini setelah membacanya dalam facebook. Benda ini bukanlah baru tapi mungkin ada yang masih belum mengetahui; lagipun saya pasti 'mereka' akan menutup atau mengaburkan cerita ini dari fakta sebenar supaya pengaruh Wong Fei Hong@Faisal Hussien tidak menjejaskan kedudukan mereka.

Kisah tokoh ini pernah difilemkan dalam beberapa siri Once Upon a Time in China yang dibintangi aktor terkenal Jet Li . Ia tentu sesuatu yang menarik bila mengatahui Wong Fei Hong adalah seorang Muslim. Semoga Wong Fei Hong dapat menjadi inspirasi kepada anak-anak muda untuk lebih maju ke hadapan.

Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.

Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.

Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.

Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.

Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.

Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.

Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cubaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.

Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid. Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amiin

Thursday 24 February 2011

Dr Maza: Pluralisme agama antara politik, fanatik dan realistik


Prof Madya Dr Mohd Asri Zainul Abidin   
Isu pluralisme digembar-gemburkan oleh sesetengah media dalam negara ini. Apakah tujuan sebenar, saya kurang pasti. Namun, apa pun dalam dunia terbuka hari ini, isu-isu pemikiran memang tidak dapat dielakkan. Cumanya, dalam membahas isu sebegini, ada yang ikhlas, ada yang berpolitik dan ada yang mengambil kesempatan tertentu.

Jika kita lihat isu ‘Valentine’s Day’, ramai yang membantah atas alasan ia tiada dalam Islam. Menariknya,‘hari ibu’, ‘hari bapa’, ‘hari buruh’, hari pesakit aids dan seumpamanya juga tiada dalam ajaran Islam tapi tidak dibantah. Jika ada yang menyatakan ‘Valentine’s Day’ memberikan kesan negatif kepada masyarakat, sambutan tahun baru dan kemerdekaan pun apa kurang.

Betapa ramai yang mengambil kesempatan pada malam-malam tersebut untuk bermaksiat. Namun, tidak kuat sangat bantahan terhadapnya. Ya, kita bersetuju dengan bantahan sambutan Valentine’s Day untuk orang Islam, namun kita mesti memberikan justifikasi yang jelas. Apabila ada agenda yang tidak jelas, masyarakat akan kehairanan terhadap banyak asas tindakan yang dikaitkan dengan Islam ini.

Saya melihat ada seorang dua yang menulis tentang pluralisme di media tertentu dan seminar mereka ini diwar-warkan oleh media tertentu. MB Kelantan turut dikaitkan dengan pluralisme. Menariknya, ada yang lantang tentang pluralisme ini dalam masa yang sama menganut dan mengiktiraf ‘wahdatul wujud’ ala Ibn ‘Arabi iaitu kesatuan antara Tuhan dan makhluk dalam makam kerohanian. ‘Wahdatul wajud’ ini kepercayaan yang dikongsi oleh banyak agama dalam pelbagai tafsiran. Tidaklah pula mereka menganggap diri mereka telah jatuh ke lembah pluralisme agama. Maka, sekali lagi pelbagai persoalan timbul tentang isu pluralismeyang dibangkitkan oleh kelompok tarekat ini.

Lebih daripada itu, mereka tidaklah lantang ketika tokoh-tokoh politik yang ‘membela’ mereka melakukan upacara ritual agama lain dalam perayaan tertentu. Sebaliknya mereka yang memuja dan memuji tokoh-tokoh politik dengan pelbagai nas agama.

Pluralisme dan Relativisme

Adakah ‘pluralisme agama’ ini kufur atau tidak? Sebenarnya, ini tidak dapat dijawab melainkan kita terlebih dahulu jelas apakah yang seseorang itu faham dari pluralisme agama atau ‘religious pluralism’ tersebut. Jika dia memahami pluralisme itu menganggap semua agama itu sama nilaian di sisi Tuhan, kebenaran itu dikongsi secara bersama atau kebenaran itu relative maka itu pastinya bertentangan dengan akidah Islam dan membawa kepada kekufuran. Ini bererti kefahaman pluralisme ini menyamai kefahaman relativisme.

Namun, jika dia menganggap bahawa pluralisme bererti mengiktiraf kepelbagaian agama, cuba memahami lebih mendalam antara satu sama lain dan bersikap bertolak ansur tanpa menggadaikan prinsip-prinsip akidah Islam terutamanya hanya Islam sebagai agama Allah, maka itu tidak membawa kepada kekufuran. Di sini bererti, kefahaman pluralisme ini tidak sama dengan relativisme yang menganggap kebenaran adalah sesuatu yang relatif.

Maka, isu pluralisme ini bergantung kepada tafsiran pihak yang berbicara. Setiap pihak mempunyai kefahaman yang tersendiri tentang hal ini. Diana L. Eck (Harvard University) menyatakan pluralisme tidak sama dengan relativismePluralisme tidak menuntut seseorang meninggalkan identiti dan tanggungjawab. Juga tidak semesti bersetuju dengan semua yang diperkatakan oleh pihak yang lain. Namun bersetuju untuk berbincang, memberi dan mendengar pandangan pihak lain.
Katanya:

“pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another..pluralism is based on dialogue. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism. Dialogue means both speaking and listening, and that process reveals both common understandings and real differences. Dialogue does not mean everyone at the “table” will agree with one another. Pluralism involves the commitment to being at the table with one’s commitments” (http://pluralism.org/pages/pluralism/what_is_pluralism)

Apa yang penting bukan istilah-istilah ini tetapi kepercayaan atau akidah seseorang muslim berkaitan hal ini. Jika dia percaya semua agama adalah berkongsi kebenaran yang sama, atau kebenaran itu sesuatu yang subjektif, boleh dilihat pada dimensi yang berbeza, maka itu pluralisme yang kufur. Jika dia menganggap hanya Islam agama wahyu yang diiktiraf di sisi Allah, namun kepelbagaian agama adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, manusia mesti belajar memahami antara satu sama lain, berbincang dengan cara yang baik, sudi untuk berdialog dan menyemakkan sikap dan tindakan, maka ini tidak kufur. Bahkan itulah yang dilaksanakan oleh sarjana Islam yang terbilang.

Prinsip Islam
Isu ini hendaklah ditangani dengan asas ilmu, bukan dengan fanatik, atau kepentingan politik. Realiti atau hakikat Islam dan kehidupan masyarakat manusia itu hendaklah difahami. Di sini saya sebutkan beberapa asas penting untuk kita fahami;

i. Seorang muslim wajib beriktikad bahawa hanya Islam yang diterima di sisi Allah. Islam itu agama Nabi Muhammad s.a.w dan seluruh para nabi sebelum baginda. Firman Allah (maksudnya):

“Dan sesiapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka sama sekali tidak diterima daripadanya dan dia di akhirat nanti termasuk dalam kalangan mereka yang rugi”. (Surah Ali-‘Imran, ayat 85).

Maka, muslim tidak percaya semua agama sama di sisi Allah di sudut kebenaran dan wahyu. Ini soal akidah. Namun bukanlah bererti Islam membezakan manusia di sudut keadilan dan hak kemanusiaan.

ii. Pun begitu, Islam mengiktiraf kewujudan agama lain dan hak mereka untuk berpegang dengan apa yang mereka yakin. Maka Islam menegaskan: (maksudnya)

“Tiada paksaan dalam agama (Islam), kerana sesungguhnya telah nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kufur)” (Surah al-Baqarah ayat 256).

Ayat ini diturunkan kepada golongan Ansar di mana dalam kalangan mereka mempunyai anak-anak yang telah diyahudi atau dikristiankan. Apabila Islam datang, mereka ingin memaksa anak-anak mereka menganut Islam, maka Allah melarang mereka berbuat demikian sehingga mereka sendiri membuat pilihan. Lalu diturunkan firmanNya tadi. Kata Ibn ‘Abbas:

“Ada seorang wanita yang tidak dapat mengandung. Dia bernazar jika dia dapat anak, dia akan jadikannya beragama yahudi. Apabila Yahudi Bani Nadir dihalau keluar dari Madinah, ada dalam kalangan mereka anak-anak golongan Ansar. Kata ibubapa mereka: “Kami tidak akan biarkan anak-anak kami mengikut mereka, maka Allah turunkan ayat: “ (Riwayat Abu Daud,).

Demikianlah ajaran Islam. Jika ibubapa pun tidak boleh memaksa agama anak sendiri, inikan pula orang lain.

iii. Islam tidak memusuhi pengikut agama lain hanya kerana perbezaan agama. Bahkan muslim disuruh berbuat baik kepada mereka yang tidak menzahirkan permusuhan kepada Islam. Firman Allah (maksudnya):
“Allah tidak melarang kamu daripada berbuat baik dan memberikan sumbangan harta kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu kerana agama (kamu), dan tidak mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu; sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil”. (Surah al-Mumtahanah, ayat 8-9).

iv. Islam mengiktiraf kebaikan yang ada pada agama lain dan pengikutnya seperti mengiktiraf halalnya sembelihan Yahudi dan Kristian dan keizinan berkahwin dengan wanita mereka. Ini disebut dalam Surah al-Maidah ayat 5. Demikian Islam mengiktiraf kebaikan yang ada pada golongan paderi Kristian. Firman Allah:

“..demi sesungguhnya engkau akan dapati orang-orang yang paling dekat sekali kasih mesranya kepada orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Bahawa kami ini orang-orang Nasrani” yang demikian itu, disebabkan antara mereka pendita-pendita dan ahli-ahli ibadat, dan kerana mereka pula tidak sombong” (Surah al-Maidah: 82)

v. Islam melarang penganutnya menzalimi penganut agama lain. Perbezaan tidak boleh membawa kepada penindasan dan kezaliman. Firman Allah (maksudnya) :

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua sentiasa menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran; dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sikap adil itu lebih hampir kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan”. (Surah al-Maidah: ayat 8).

vi. Islam menggalakkan dialog dalam suasana yang harmoni dan baik. Firman Allah (maksudnya).
“Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan hikmah dan mauizah hasanah (nasihat yang baik), dan berbahaslah dengan mereka dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dia lah jua yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya, dan Dia lah jua yang lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat hidayah petunjuk (Surah al-Nahl: 125)

Maka isu pluralisme hendaklah ditangani dengan ilmu, bukan fanatik atau kepentingan politik, tetapi hendaklah realitik dengan asas Islam dan kehidupan manusia.




Kisah Taubat Seorang Pemfitnah

Saad bin Abi Waqash pernah diangkat sebagai Amir di kota Kufah. Dia telah menjalankan pemerintahan dengan bijak, adil dan baik. Walaupun demikian ada di kalangan manusia yang tidak suka kepadanya telah menabur fitnah dan mengadu kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.
Untuk mengetahui dari perkara yang sebenarnya, Khalifah telah menghantar seorang penyiasat ke Kufah. Orang ini pergi dari satu masjid ke masjid lainnya untuk menanyakan hal Saad kepada rakyat Kufah. Semua orang yang ditanya, tidak ada yang mengatakan sesuatu tentang Saad kecuali baik.

Pada akhirnya utusan Khalifah sampai ke sebuah masjid yang di situ terdapat seorang lelaki yang dikenali sebagai Abu Saadah. Lelaki ini mengatakan bahawa Saad bin Abi Waqash tidak membahagi secara adil, tidak ikut ke medan pertempuran dan tidak adil dalam memutuskan sesuatu perkara.

Apabila Saad mendengar tentang fitnah yang ditaburkan oleh lelaki itu, dia berdoa kepada Allah SWT. “Ya Allah, jika sekiranya orang itu berkata dengan bohong, maka panjangkanlah usianya, panjangkan kefakirannya dan timpakan beberapa fitnah kepadanya.”

Ibnu Umair yang menceritakan kisah ini berkata: “Aku melihat lelaki itu dalam keadaan yang sangat tua sehingga bulu alisnya sampai menutup matanya kerana ketuaan. Hidupnya dalam keadaan fakir.”

Bila dikatakan kepadanya: “Bagaimanakah keadaanmu?”

Dia menjawab: “Aku telah menjadi orang yang terlalu tua dan menderita. Aku telah terkena doa Saad, oleh kerana itu, aku bertaubat kepada Allah, untuk tidak mengulangi lagi perbuatanku yang suka memfitnah itu.”

Wednesday 23 February 2011

Politik dan dakwah.

Saya akui saya bukanlah ahli politik mahupun seorang pendakwah yang hebat, tapi saya terpanggil dengan beberapa isu yang sentiasa menghangatkan muka depan media-media massa dan elektronik. Apa salahnya menyatakan pendapat mengikut falsafah sendiri.

Politik dan dakwah adalah satu teras dan lahir dari Kalamullah yakni Al-Quran. Kedua-dua perkara ini sangat penting dalam menegakkan Islam di atas muka bumi ini. Namun harus kita ingat bahawa Islam itu mudah, bawalah ia seperti mana anda membawa Ilmu yang lain. Cth; anda mengajar sains secara bukti dan fakta, Islam juga seperti itu, lengkap dengan fakta yang mampu menujah benak fikiran manusia.

Ada golongan yang hanya bawa dakwah sahaja sebagai wadah perjuangan, ada juga yang bawa politik sahaja sebagai wadah, dan yang paling baik adalah mengangkat kedua-duanya sebagai dasar perjuangan. Kini, sudah banyak gerakan-gerakan Islam pada asal penubuhannya cuma dakwah kini sudah terjun ke dunia politik.

Politik bermaksud pengurusan, yakni menguruskan sekelompok manusia dalam hal-hal pentadbiran sebuah wilayah atau negara. Manakala dakwah adalah pengajakan manusia kepada Tuhan, pengabdian pada Tuhan dan hukum-hukum Tuhan.

Cuba bayangkan sebuah negara yang dikawal oleh kuasa politik tanpa berlandaskan agama dengan sebuah negara yang dikawal oleh kuasa politik berlandaskan hukum syarak yakni hasil nasihat pihak-pihak pendakwah? Sudah tentu memberi impak yang berbeza pada kedua-dua negara.

Pendakwah bukan sahaja menasihati rakyat jelata malah boleh menegur pemerintah negara dan boleh menyertai politik untuk mendapatkan kuasa pemerintahan bagi melaksanakan yg Hak dan menidakkan yang Batil. Ini adalah kehebatan dakwah dalam mempengaruhi politik negara.

Namun ada cakap-cakap dalam masyarakat kita yang menuduh ulama itu sebagai politikus semata-mata bertanding dalam pilihanraya. Itu sudah jelas satu tuduhan tidak berasas. Politikus cuma berpolitik semata-semata manakala ulama bukan sahaja berpolitik tapi berdakwah.

Antara hujah mereka bahawa Ulama tersebut menggunakan Agama sebagai perisai atau senjata untuk memancung seteru politik mereka. Saya nak tanya; apa mulia sangat puak-puak sekular yang berpolitik ni. Apa yang berdosa sangat ulama-ulama menyertai politik ini.

Ini sikap orang kita yang suka menuduh melulu tanpa usul periksa. Saya tidak taksub mana-mana ulama tapi bicaralah kita menggunakan Ilmu bukan menuduh melulu. Itu tindakan ZALIM. Namun saya tabik pada ulama-ulama yang memperjuangkan Islam, walaupun sudah dimamah usia namun tetap cekal dan lincah dalam berpolitik dan berdakwah.

Pembuka Bicara

Assalamualaikum wbt.

Alhamdulillah, selamat sudah mendaftar blog ini. So, saya sekarang boleh digelar blogger walaupun tidaklah sehebat blogger2 handalan yg lain; saya cuma blogger cabuk, masih banyak kekurangna dari segi bahasa dan skill penulisan yg agak lemah. Namun saya cuba menjadikan diri  yg terbaik dan berkongsi pengalaman, ilmu dan pelbagai lagi perkara-perkara yg dapat memberi impak positif terhadap masyarakat. InsyaAllah. Jom kita berbloging.. wasalam..

Template by:

Free Blog Templates